TIDAK DIANJURKANNYA ATAU BAHAYANYA MEMUJI ORANG LAIN

Sumber: Kitab Riyadhus Shalihin (Imam Nawawi, hadits no. 1785-1787) dan Al-Adabul Mufrod (Imam Bukhari, hadits no. 333-341).

Pujian atau memuji seseorang adalah pernyataan rasa kagum dan penghargaan kepada seseorang yang dianggap baik, indah, dan sebagainya. Jika kita memuji kepada seseorang atas prestasinya atau kebaikan-kebaikannya, maka sebenarnya itu wajar-wajar saja. Namun demikian resiko akibat dari pemberian pujian bagi orang yang dipuji ini yang harus dipertimbangkan. Dan ini sering terjadi di kehidupan sehari-kita kita.

Pujian atau memuji ini jika dilihat dari objeknya ada dua macam. Pertama untuk memuji diri sendiri dan kedua memuji orang lain.

Pujian atau Memuji untuk Diri Sendiri

Pujian untuk diri sendiri ini bersifat tercela, sebagaimana dilarang dalam beberapa ayat di Al Qur’an, misalnya Surat An-Najm ayat 31: “Maka janganlah kalian memuji diri kalian dan jangan merasa bersih dari dosa.”.

Memuji diri sendiri yang diperbolehkan adalah jika bertujuan demi kemaslahatan, bukan untuk kesombongan, misalnya dalam rangka amar makruf nahi munkar, mendamaikan antara dua orang yang bertikai, memberikan nasihat, mendidik, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan kisah Rasulullah SAW ketika beliau membagikan ghanimah (harta rampasan perang), di antara orang munafik ada yang menganggap Rasulullah tidak adil dalam membaginya, sehingga Rasulullah SAW berkata: “Demi Allah sesungguhnya aku adalah sejujur-jujurnya orang di langit dan di bumi.”. Di antara sahabat Nabi SAW yang pernah memuji dirinya sendiri dalam rangka ta’lim (pendidikan) adalah Abu Hamid al-Sa’idi, saat menyampaikan bagaimana shalat Rasulullah kepada para sahabat lain, ia berkata “Saya adalah orang yang paling tahu mengenai shalat Rasulullah SAW.”

Pujian atau Memuji untuk Orang Lain

Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya’Ulumuddin menjelaskan bahwa diantara malapetaka yang disebabkan lisan adalah sebuah pujian. Oleh karena itu memuji kepada orang lain tidak sepenuhnya dianjurkan, bahkan terkadang pujian tersebut dilarang karena bisa menimbulkan dampak negatif yang sangat membahayakan, baik bagi orang yang memuji maupun orang yang menerima pujian.

Seseorang yang memuji orang lain maka dianggap mencelakai orang lain yang dipuji tersebut bahkan telah memutuskan lehernya (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad), di riwayat lain dianggap telah mematahkan punggung orang yang dipuji (HR Abi Syaibah), di riwayat lain dianggap telah menyembelih orang yang dipuji (HR Ibnu Abi Syaibah; Muslim), jika orang yang disanjung menerimanya.

Kita boleh memuji orang lain jika tidak membahayakan atau dengan tujuan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana Rasulullah SAW juga melakukan itu (HR Muslim).

Bagaimana sikap kita terhadap orang yang suka memuji-muji orang lain (membahayakan orang lain yang dipuji tersebut)? Rasulullah SAW menyuruh kita untuk membuat malu orang-orang yang suka menyanjung-nyanjung (HR Muslim), atau di riwayat lain agar menaburkan debu di wajahnya (maksudnya membikin orang yang suka memuji-muji tersebut malu, karena membahayakan orang yang dipuji) (HR Ahmad).

Dalam hadits riwayat Al-Albani disebutkan bahwa ada beberapa sahabat yang mendatangi masjidnya penduduk kota Bashrah. Ternyata di salah satu pintu masjid sudah ada Buraidah al-Aslami, ia berkata bahwa di dalam masjid ada orang yang namanya Sakabah, ia suka memanjangkan sholatnya. Buraidah berkata (secara humor) mengatakan “Wahai Mahjan, apakah engkau shalat seperti shalatnya Sakabah?”. Kemudian Mahjan bercerita tentang riwayatnya ketika bersama Rasulullah yang melihat seseorang yang sedang sholat sangat khusyu’. Rasulullah bertanya: “Siapa orang itu?”. Mahjan memuji orang tersebut dengan mengatakan kepada Rasulullah “Wahai Rasulullah, dia adalah si Fulan dan dia …..”. Lalu Rasulullah bersabda: “Tahan, jangan teruskan ucapanmu sehingga ia mendengar dan menyebabkannya celaka.”.  

Simpulan Para Ulama Menurut Imam Nawawi

Hadits-hadits di atas menunjukkan larangan memberikan pujian bagi orang lain tetapi ada pula hadits-hadits yang membolehkannya memberikan pujian.

Memuji orang lain itu diperbolehkan manakala orang yang dipuji itu memiliki keimanan yang sempurna dan keyakinan yang baik serta jiwa yang terlatih sehingga tidak dikhawatirkan akan timbulnya fitnah dalam jiwanya sendiri (dan tidak beresiko merasa sombong) apabila menerima pujian.

Tetapi jika dikhawatirkan akan adanya sesuatu dalam jiwa seseorang yang dipuji (misal merasa tersanjung dan merasa sombong) maka kita tidak diperbolehkan memuji orang lain tersebut (dianggap hukumnya makruh dengan makruh yang sangat), karena bisa membahayakan orang yang dipuji tersebut.